Tutup karena Pandemi? Inilah 6 Cara Pembubaran Perseroan Terbatas

FTW Law Firm

Senin, 06 April 2020 ||Source : www.hukumonline.com

Proses hukum pembubaran harus dilakukan hingga tuntas, agar tak menyisakan persoalan di kemudian hari.
law office in bali indonesia
Penyebaran coronavirus disease (Covid-19) diikuti penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar nyata-nyata berdampak secara ekonomi, termasuk pada kelangsungan hidup perusahaan. Jika ingin tetap survive di tengah pandemi corona, direksi perseoran terbatas harus menyiapkan sejumlah langkah. Pengurangan karyawan sangat mungkin terjadi. Risiko paling fatal adalah penutupan perusahaan karena tidak dapat menjalankan operasi produksi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani juga tak menampik dampak ekonomi penyebaran Covid-19. Kinerja dunia usaha pasti terganggu. Menteri Sri mengakui kondisi ini menimbuilkan risiko banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga ancaman kebangkrutan yang mesti dihadapi perusahaan. Sektor korporasi yang paling rentan terganggu aktivitasnya, kata Sri, seperti manufaktur, perdagangan, transportasi dan akomodasi (restoran dan perhotelan). Pembalikan modal (capital outflow) bahkan memberi tekanan yang sangat besar pada mata uang. Kemungkinan terburuk, nilai tukar rupiah atas dolar bisa mencapai Rp20.000. “Dalam skenario yang sangat berat, ekonomi Indonesia bisa mencapai minus nol koma empat persen (-0,4 persen),” jelasnya dalam konferensi Pers via teleconference, Jum’at, (3/4).

Berkaca pada krisis moneter 1998, depresiasi nilai tukar rupiah atas dolar telah mengakibatkan banyak perusahaan akhirnya tumbang. Mengantisipasi terulangnya sejarah kelam itu, beragam stimulus kebijakan terus dikeluarkan pemerintah. Namun, bila kebangkrutan atau pembubaran menjadi kondisi yang mau tidak mau harus dihadapi perusahaan, tentu proses hukum pembubaran harus dilakukan hingga tuntas, agar tak menyisakan persoalan di kemudian hari.
Secara hukum, tata cara pembubaran perusahaan diatur dalam Bab X UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Penting diingat, pembubaran perseroan tidak berarti serta merta menghilangkan status badan hukum perseroan. Hilangnya status badan hukum itu baru diakui hingga selesainya proses likuidasi dan diterimanya pertanggungjawaban likuidator oleh RPUS atau Pengadilan (Pasal 143 ayat 1 UU PT).

Berdasarkan UU PT, ada enam dasar terjadinya pembubaran perseroan.

Keputusan RUPS
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah organ perseroan selain direksi dan dewan komisaris. Berdasarkan Pasal 142 ayat (1) huruf a, yang berwenang memutuskan pembubaran perseroan adalah RUPS.

Usul pembubaran perusahaan kepada RUPS hanya berhak dilakukan oleh direksi, dewan komisaris dan pemegang saham. Hal itu diterangkan Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Perseroan Terbatas. Ia menjelaskan, Anggota direksi tidak berhak mengajukan usul pembubaran secara sendiri, melainkan harus berdasarkan Keputusan Rapat Direksi. Begitu pula dengan Dewan Komisaris yang hanya bisa mengusulkan pembubaran melalui Keputusan Rapat DK.

Adapun usul oleh pemegang saham, hanya dapat dilakukan oleh satu atau lebih pemegang saham yang mewakili paling sedikit satu per sepuluh (1/10) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara.

(Baca juga: OJK Longgarkan Batas Waktu Penyampaian Laporan Tahunan dan RUPS).

Keabsahan Keputusan RUPS soal pembubaran perseroan ini, hanya diakui jika keputusan yang diambil telah sesuai dengan Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 89. Pasal 87 mensyaratkan diupayakannya musyawarah dan mufakat terlebih dahulu sebelum voting dilakukan. Bila musyawarah gagal, maka keputusan pembubaran setidaknya harus memenuhi kuorum sebagai berikut: Kuorum kehadiran paling sedikit ¾ bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara (hadir atau diwakili dalam RUPS), dan harus disetujui paling sedikit ¾ bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan dalam RUPS

Pembubaran karena jangka waktu Perseroan berakhir
Anggaran Dasar (AD) Perseroan dapat menetapkan batasan jangka waktu berdirinya perseroan. Mungkin saja ditetapkan perseroan berdiri selama 30 tahun, 75 tahun, atau tidak ditentukan batasnya.

Dalam hal ada batasan waktu, maka apabila jangka waktu itu habis, pembubaran perseroan langsung terjadi dengan sendirinya karena hukum. Misalnya, suatu perusahaan pemilik Hak Guna Usaha. Jika masa berlaku HGU-nya habis, perseroan dapat membubarkan diri. Alternatifnya adalah perusahaan memperpanjang jangka waktu izin dan jangka waktu perseroan.

Berdasarkan UU PT, paling lambat 30 hari setelah lekatnya status pembubaran perusahaan, pelaksaan RUPS untuk menunjuk likuidator harus dilakukan. Bila RUPS yang dilakukan tidak dalam rangka menunjuk likudator, menurut Yahya Direksi secara otomatis bertindak selaku likuidator. Dalam kondisi seperti ini, ada yang berpendapat (misalnya M. Yahya Harahap) bahwa direksi tidak memerlukan penunjukan dari pihak manapun, karena dalam keadaan yang seperti ini, UU sendiri yang menetapkan dan menunjuknya.

Bubar berdasarkan penetapan pengadilan
Pihak tertentu yang memiliki alas hak atau legal standing dapat mengajukan permohonan penetapan pembubaran perseroan ke pengadilan. Pihak yang berkepentingan bukan hanya pemegang saham, direksi dan dewan komisaris. Berdasarkan Pasal 146 ayat (1) UU PT, Kejaksaan dapat mengajukan permohonan penetapan ke pengadilan jika perseroan melanggar kepentingan umum atau melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan.

Selain yang disebutkan di atas, pihak lain yang berkepentingan berhak pula mengajukan permohonan pembubaran perseroan. Namun UU PT tidak menguraikan secara detil siapa pihak lain yang berkepentingan. Pertanyaannya, dapatkah pihak ketiga yang dirugikan oleh tindakan perseroan dapat mengajukan permohonan ke pengadilan?

Kompetensi absolut dalam penetapan pembubaran perusahaan merupakan wewenang Peradilan Umum (Pengadilan Negeri), sedangkan kompetensi relatifnya terletak pada PN yang sesuai dengan domisili Perseroan.

Boedel pailit tidak mencukupi membayar biaya kepailitan.
Tidak cukupnya harta pailit untuk membayar biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator, berdasarkan pasal 142 ayat (1) UU PT dapat berimplikasi pada pencabutan putusan pernyataan kepailitan atas usul Hakim Pengawas. Bila hal itu terjadi, maka pembubaran perseroan juga akan terjadi. Langkah lanjutannya, perseroan dalam hal ini harus mengkondisikan diselenggarakannya RUPS untuk menunjuk likuidator. Bila tidak, Direksi secara hukum akan dengan sendirinya bertindak sebagai likuidator. (Pasal 142 ayat 3 UU PT).

Harta pailit berada dalam keadaan insolvensi
Pasca jatuhnya putusan pailit, maka harta pailit berada dalam keadaan insolvensi (staat van faillissement, state of bankcruptcy). Sejak saat itu, maka terjadilah pembubaran perseroan yang dilakukan sesuai dengan Pasal 142 ayat (1) huruf e UU PT.
Berdasarkan Pasal 187 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, setelah harta perusahaan berada dalam keadaan insolvensi, hakim pengawas di Pengadilan Niaga dapat mengadakan rapat kreditor. Rapat itu digelar untuk mendengarkan keterangan seperlunya mengenai tata cara pemberesan harta perseroan yang dinyatakan pailit.

Dicabutnya izin usaha perseroan
Terakhir, menurut Pasal 142 ayat (1) huruf f UU PT, dicabutnya izin usaha perseroan juga akan berdampak pada pembubaran perseroan, bilamana izin yang dicabut itu merupakan satu-satunya jenis izin usaha yang dimiliki perseroan. Dalam kondisi ini, tidak memungkinkan bagi perseroan untuk melanjutkan usaha dengan bidang usaha lain. Tetapi bila perusahaan memang mengantongi beberapa izin usaha dan hanya satu di antaranya yang dicabut, maka dalam hal ini tidak terjadi pembubaran.

Pencabutan izin usaha perseroan adalah sanksi administratif yang diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Pejabat yang berwenang mengeluarkan keputusan berisi pencabutan izin usaha yang telah diberikan sebelumnya disertai alasan-alasan pencabutan.

Dalam ketentuan Pasal 142 ayat (2) UU PT, ditegaskan, bahwa pembubaran perseroan yang dilakukan berdasarkan salah satu dari keenam cara diatas, maka wajib diikuti dengan likuidasi (proses pencabutan status badan hukum perusahaan). Menariknya, memang teks kerap tak sama dengan praktek yang terjadi di lapangan. Faktanya, begitu lamanya proses pengurusan likuidasi membuat banyak PT membiarkan status badan hukum perusahaannya tetap ada kendati tak lagi beroperasi dan melakukan kegiatan (dormant). Sebelumnya, Partner Adisuryo Dwinanto & Co., Rizky Dwinanto membenarkan bahwa tidak sedikit perusahaan yang mangambil opsi ini.

Namun penting digarisbawahi, memilih opsi dormant membuat tanggungan hukum perusahaan harus tetap ditunaikan. Mengingat kondisi dormant menunjukkan bahwa perusahaan, pemegang saham dan direksi masih ada secara hukum. “Jadi kalau suatu saat ada masalah hukum, otomatis dia masih berkewajiban menyelesaikan masalah hukum itu,” terangnya.

Source : www.hukumonline.com

FTW’s aim and objective is to establish a law firm based on expertise, unswerving commitment and excellent service with a personal touch. In order to assists client by making available its lawyers’ expertise, advice, and integrity in a wide range of legal services such as commercial transaction, commercial litigation and cross border transactions and also to provide the highest and consistent of Indonesian legal services through a combination of expertise, team work and practical advise to both national and international commercial circles.

Contact Us

We are Member of

© 2024 FTW Law Firm. All Right Reserved.