Kamis, 06 September 2018 | source : www.hukumonline.com
Kejahatan di sektor jasa keuangan ini seringkali melibatkan orang dalam perusahaan dengan beragam modus. Penegak hukum perlu meningkatkan kompetensinya dalam upaya lebih mengenali modus perkara financial crime dan mekanisme kerja industri jasa keuangan dengan teknologi digital.
Maraknya kejahatan di sektor jasa keuangan atau financial crime, khususnya di sektor perbankan yang paling mendapat sorotan aparat penegak hukum. Meski financial crime bukan hal baru, namun dampaknya merugikan perusahaan jasa keuangan tersebut dan juga berdampak langsung merugikan masyarakat atau nasabah yang berujung pada hilangnya dana.
Sebut saja, kasus Bank Century pada 2008 yang melibatkan pemiliknya Robert Tantular. Ada juga kasus, Citibank pada 2011 yang melibatkan Senior Relationship Manager, Inong Malinda Dee yang menarik dana nasabah prioritas tanpa izin hingga Rp 16,63 miliar. Kemudian kasus terbaru, pengajuan kredit fiktif dari PT Tirta Amarta Bootling kepada Bank Mandiri senilai Rp 1,17 triliun.
Kepala Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Irjen (Pol) Rokmad Sunanto menjelaskan modus (cara kerja) financial crime terjadi tidak hanya dilakukan dari pihak luar perusahaan jasa keuangan tersebut. Dari berbagai kasus yang pernah ditangani, financial crime juga seringkali melibatkan pihak internal atau orang dalam perusahaan jasa keuangan tersebut.
“Perusahaan jasa keuangan seperti bank bisa menjadi korban, sarana, dan pelaku. Dari berbagai kasus, bahkan orang dalam yang menjebol banknya sendiri seperti kasus Citibank ada Malinda Dee dan Bank Century yang melibatkan owner-nya,” kata Rokhmad dalam seminar bertajuk “Desain Sistem Litigasi Keuangan dalam Rangka Perlindungan Konsumen” yang diselenggarakan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal di Jakarta, Rabu (5/8/2018).
Rokhmad melanjutkan, seiring perkembangan teknologi, modus financial crime juga mengalami perubahan. Dia mencontohkan sebelum adanya teknologi digital, pencurian dana dilakukan secara langsung oleh pelaku dengan cara merampok bank hingga pembobolan mesin ATM. Namun, kini modus yang digunakan pelaku beragam mulai dari skimming (pencurian data) pada mesin ATM hingga peretasan akun pribadi nasabah.
“Sekarang, (pelaku) cukup duduk di kafe-kafe sambil main lewat laptop bisa bobol itu bank. (Cara) Ini pernah ada dengan menjebol bank di Jambi sebesar Rp6 miliar dari Jakarta,” ungkap Rokhmad. Baca Juga: Cegah Risiko Hukum, Industri Jasa Keuangan Mesti Perketat GCG
Melihat kondisi demikian, Rokhmad mengimbau kepada seluruh penegak hukum perlu meningkatkan kompetensinya dalam upaya lebih mengenali modus perkara financial crime dan mekanisme kerja industri jasa keuangan dengan teknologi digital. Sebab, seiring perkembangan teknologi, modus financial crime di industri keuangan juga turut mengalami perubahan.
“Kejahatan di Industri keuangan ini berkembang mengikuti zaman dan teknologi. Saya rasa penegak hukum harus lebih pintar,” pinta Rokhmad. Baca juga: Tidak Mau Tertipu Kan? Kenali CDD, Instrumen Mitigasi Resiko Kejahatan di Sektor Jasa Keuangan.
Persengkongkolan
Ahli hukum perbankan dan advokat dari Henri Lumbanraja and Partners, Henri Lumban Raja menjelaskan kejahatan financial crime bisa berdampak buruk dan meluas khususnya bagi industri jasa keuangan. Salah satu permasalahan besar yang timbul yaitu semakin membengkaknya kredit macet atau non-performing loan (NPL).
Hendri menjelaskan munculnya kredit macet tersebut selain faktor gagal bayar dari debitur juga terjadi akibat persengkongkolan antara pihak bank dengan peminjam (debtor) yang sebenarnya tidak layak mendapatkan pendanaan. Padahal, terdapat beberapa ketentuan persyaratan yang harus terpenuhi agar bank dapat memberi pendanaan kepada nasabahnya.
“Dari awal memang sudah ada niatan tidak baik. Peminjam sudah tidak jujur dalam memberikan data-data, ada markup. Sebenarnya sudah ketahuan bahwa ini bakal macet dalam dua atau tiga tahun berikutnya,” kata Henri.
Bahkan, Henri menyebut pihak internal bank tersebut tak jarang menerima gratifikasi dari peminjam sebagai jasanya mencairkan dana tersebut. “Ada bankir yang minta hadiah dari nasabahnya. Ini (gratifikasi) saya temukan di bank dan ini hal yang biasa,” bebernya.
Henri mewanti-wanti agar pihak bank harus benar-benar mengetahui karakter hingga permodalan peminjam untuk mengantisipasi atau mencegah terjadinya kredit macet. “Dengan memenuhi semua ketentuan itu, bank dapat mengetahui bagaimana karakter, permodalan, dan tingkat kemampuan bayar yang dimiliki peminjam, sehingga dapat dicegah kredit macet,” ujarnya mengingatkan.