Senin, 22 April 2019 ||Source : www.hukumonline.com
Berkaitan dengan ada tidaknya perjanjian pemisahan harta.
Pailit dapat terjadi pada suatu badan hukum atau seseorang. Jika pailit menimpa suatu perusahaan berbadan hukum, pertanggungjawaban atas penyitaan asetnya tak menyentuh harta pribadi. Berbeda halnya jika pailit harta pribadi. Dalam kasus terakhir ini dapat saja menyeret harta kekayaan yang dimiliki pasangan (suami/istri).
Pertanyaannya, dapatkah pernyataan pailit terhadap debitor mempengaruhi rencana pernikahan dan perceraian seorang debitor? Apakah pengaruh tersebut melekat sebatas pada pribadi debitor pailit atau lebih? Bagaimana UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengaturnya?
Kurator Balai Harta Peninggalan (BHP), Dulyono, berpendapat bahwa pernikahan dapat dilakukan pasca pernyataan pailit menimpa debitor. Yang terlarang adalah menikah atau melakukan perbuatan apapun dengan menggunakan boedel pailit. Jika debitor bercerai setelah dinyatakan pailit, maka harta suami/istrinya bisa masuk ke dalam boedel pailit sepanjang tidak ada perjanjian pemisahan harta suami/istri sebelum pernyataan pailit.
“Kalau pada saat dia menikah sudah bawa harta, dan ada pemisahan harta itu tidak bisa diambil, kecuali harta bersama. Kalau harta bersama, dalam kepailitan perorangan itu jika suami kena maka harta istri juga kena. Kecuali ada pemisahan harta,” jelasnya kepada hukumonline.
Guna menghindari masuknya harta bawaan istri/suami secara berbarengan sebagi objek pailit, sebaiknya pemisahan harta dilakukan sebelum perkawinan berlangsung. Misalnya, Dulyono memberi contoh, istri bekerja tapi penghasilannya tak terikat dalam perjanjian pemisahan harta. Dalam kondisi demikia, penghasilan istri masuk sebagai harta bersama. “Di situ harta istri bisa kenajadi objek pailit. Tapi tergantung nanti bagaimana perlawanan sang istri. Pasti ada perlawanan untuk kasus seperti itu,” terangnya.
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mustolih Siradj menjelaskan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tak ada larangan secara eksplisit bagi calon mempelai yang berstatus sebagai debitor pailit (muflis/orang yang tak punya harta) untuk menikah. Begitu pula dengan larangan, kebatalan dan pencegahan perkawinan bagi debitor pailit tak dikenal dalam hukum perkawinan Islam.
Dalam Pasal 14-44 Kompilasi Hukum Islam (KHI), tak ada satu pun pasal yang mangatur bahwa status debitor pailit dapat menghalangi seseorang melakukan perkawinan. Ketiadaan larangan itu, kata Mustolih, adalah sesuatu yang wajar mengingat dimensi debitor pailit adalah kondisi seseorang telah kehilangan harta akibat hukum dari proses kepailitan, yang membuat seseorang kehilangan hak mengurus harta yang selama ini dikuasai. Sementara, perkawinan bertumpu pada kasih sayang dua manusia yang terikat dalam tali suci yang kuat (mitsaqon ghalidza) dan tidak semata didasarkan pada persoalan kepemilikan, penguasaan dan pengurusan harta.
“Dalam konteks pranikah tanggung jawab kepemilikan, penguasaan serta pengurusan harta berada mutlak di tangan masing-masing calon mempelai,” ujarnya kepada hukumonline.
Lain halnya jika status debitor pailit telah terikat dalam perkawinan. UU Perkawinan mengatur bahwa setiap perkawinan pasti menyebabkan adanya harta bersama kecuali jika terdapat perjanjian pemisahan harta. Perlu diketahui, terkait status dan pertanggungjawaban terhadap harta bersama telah diatur UU Perkawinan. Harta bersama ini bukan lahir dari perjanjian kawin, melainkan lahir karena Undang-Undang. Dengan adanya harta bersama, kepailitan suami istri dapat menyebabkan pailit terhadap pasangannya.
Ketentuan UU Perkawinan itu berkaitan erat dengan Pasal 23 UU Kepailitan. Debitor pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan 22 UU Kepailitan meliputi istri atau suami dari debitor pailit yang menikah dalam persatuan harta. Kesimpulannya, kata Mustolih, tanpa adanya perjanjian pemisahan harta maka harta suami atau istri dianggap sebagai satu kesatuan harta bersama sehingga dapat menyebabkan harta pasangan harus menerima konsekuensi pailit.
Mustolih menambahkan, merujuk Paragraf 9 Penjelasan Umum UU Kepailitan, putusan pernyataan pailit memang dapat mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan. Akan tetapi, ketidakcakapan seorang debitor pailit hanya terbatas pada pengurusan harta sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UU Kepailitan sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Sehingga, dalam lapangan perkawinan tidak menjadi hambatan atau halangan untuk melangsungkan perkawinan jika alasan ‘tidak cakap hukum’ yang dijadikan dasar.
“Atau, dengan kata lain berbeda status hukumnya dengan mereka yang tidak cakap karena masih dalam pengampuan, belum mumayyiz atau karena faktor hilang akal berbeda dengan tidak cakap dalam pailit. Mengingat debitor pailit masih dalam koridor mahkum ‘alaih (mukallaf), yakni orang yang masih dapat melakukan tindakan-tindakan hukum,” jelasnya.
Pada akhirnya, kata Mustolih, stastus pailit atau muflis tidak menjadi halangan bagi seseorang untuk melangsungkan perkawinan. Tetapi status itu dapat dijadikan pertimbangan bagi calon mempelai untuk menerima, meneruskan pernikahan atau sebaliknya. Utamanya bagi calon mempelai laki-laki, karena menurut hukum, laki-laki punya kewajiban memberikan nafkah lahir batin, sandang, pangan dan papan kepada isterinya.
“Jadi, bukan berarti keterbatasan harta itu mengakibatkan seseorang tak boleh menikah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, nikahlah kalian meski hanya dengan mahar cincin dari besi,” tutupnya.