Senin, 07 Januari 2019 ||Source : www.hukumonline.com
Dalam KUHP tidak ada pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengguna PSK maupun PSK itu sendiri. Ketentuan KUHP hanya dapat digunakan untuk menjerat penyedia PSK/germo/muncikari.
Akhir pekan kemarin, publik dihebohkan dengan tertangkapnya artis berinisial VA dan AS lantaran diduga terlibat kasus prostitusi online. Seperti dilansir Antara, kedua artis itu diciduk oleh Polda Jatim atas kasus prosititusi daring, di Surabaya, Sabtu (5/1) siang. Selain menangkap kedua artis, polisi turut mengamankan empat orang saksi, dua manajemen, dan satu tersangka yang diduga melaksanakan transaksi elektronik prostitusi.
Selang sehari penangkapan, polisi langsung menetapkan dua tersangka. “Ada dua orang yang dijadikan tersangka berinisial ES (37) dan TN (28). Mereka berperan mendatangkan korban hingga bisa diakses, seperti tarif dan lain-lain,” kata Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol. Frans Barung Mangera di Mapolda Jatim di Surabaya, Minggu (6/1).
Barung menyebutkan dua orang tersangka itu merupakan mucikari yang berasal dari daerah Jakarta Selatan. Mereka saat ini tengah ditahan di Mapolda Jatim. “Sementara dua artis itu wajib lapor. Dua tersangka sudah cukup lama, ada yang melapor, yang kedua memang hasil siber patrol,” katanya.
Belakangan, pemberitaan media menyorot siapa orang yang ‘memesan’ jasa kedua artis tersebut. Kasubdit V Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Jawa Timur AKBP Harissandi mengungkapkan, adalah pengusaha berinisial R yang menyewa jasa VA. Dia merupakan pengusaha tambang pasir yang memiliki pertambangan di Lumajang.
“R itu pengusaha pasir. Dia usahanya banyak, di Lumajang ada. Usahanya banyak,” kata Harissandi saat ditemui di Mapolda Jatim seperti dilansir Antara di Surabaya, Senin (7/1).
Sebelumnya, penyidik dari Polda Jatim sempat memeriksa R usai digerebek di salah satu hotel di Surabaya dengan artis berinisial VA. Pemeriksaan tersebut hanya berlangsung beberapa jam. Setelah itu, polisi melepas R karena statusnya hanya sebagai saksi.
(Baca Juga: Aturan Mucikari dalam KUHP Dibawa ke MK)
Terlepas dari kasus di atas, timbul pertanyaan apakah seorang pengguna jasa PSK bisa dikenakan sanksi hukum?
Dalam klinik hukum berjudul “Pasal untuk Menjerat Pemakai Jasa PSK”, dijelaskan dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengguna PSK maupun PSK itu sendiri. Ketentuan KUHP hanya dapat digunakan untuk menjerat penyedia PSK/germo/muncikari berdasarkan ketentuan Pasal 296 jo. Pasal 506 KUHP:
Pasal 296:
Barang siapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.
R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 217) menjelaskan bahwa pasal ini gunanya untuk memberantas orang-orang yang mengadakan bordil atau tempat-tempat pelacuran. Supaya dapat dihukum harus dibuktikan bahwa perbuatan itu menjadi pencahariannya atau kebiasaannya.
Pasal 506:
Barang siapa sebagai muncikari (souteneur) mengambil keuntungan dari pelacuran perempuan, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.
Soesilo (hal. 327) menjelaskan bahwa muncikari adalah makelar cabul, yakni seorang laki-laki yang hidupnya seolah-olah dibiayai oleh pelacur yang tinggal bersama-sama dengan dia yang dalam pelacuran menolong, mencarikan langganan-lagganan dari mana ia mendapat bagiannya.
Lantas, apakah para pengguna PSK tidak bisa dijerat hukum? Walaupun tidak ada ketentuan khusus mengatur tentang pengguna jasa PSK dalam KUHP, tetapi jika pelanggan PSK tersebut telah mempunyai pasangan resmi (atas dasar pernikahan), dan kemudian pasangannya tersebut mengadukan perbuatan pasangannya yang memakai jasa PSK, maka orang yang memakai jasa PSK tersebut dapat dijerat dengan pasal Perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 KUHP.
Mengenai pasal ini, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 209), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan zinah adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya. Supaya masuk pasal ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak. Penjelasan lebih lanjut mengenai perzinahan dapat disimak dalam artikel Persoalan Kawin Siri dan Perzinahan.
Meski demikian, di beberapa peraturan daerah ada sanksi pidana bagi pengguna PSK. Sebagai contoh adalah Pasal 42 ayat (2) Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Perda DKI 8/2007).
Pasal 42 ayat (2) Perda DKI 8/2007:
Setiap orang dilarang:
menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks komersial;
menjadi penjaja seks komersial;
memakai jasa penjaja seks komersial.
Orang yang melanggar ketentuan ini dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp. 500 ribu dan paling banyak Rp30 juta.
Jadi, ketentuan KUHP hanya dapat digunakan untuk menjerat germo/muncikari/penyedia PSK. Pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pemakai/pengguna PSK diatur dalam peraturan daerah masing-masing. (ANT)